transpormasi digital dan revolusi industri 4.0
Hari ini kita telah memasuki era digital, yang ditandai oleh pergeseran besar (big shifting) dari teknologi mekanik dan analog kepada teknologi digital, yang sejatinya sudah dimulai sejak tahun 1980an. Don Tapscott (1996) menyebutkan karakter perubahan ke arah digitalisasi, dimana ekonomi dunia telah bergeser dari masyarakat industri yang berbasis pada baja, kendaraan, dan jalan raya, ke arah masyarakat ekonomi baru yang dibentuk oleh silicon, komputer, dan jaringan (networking).
Fenomena digitalisasi ini sejatinya terjadi di hampir semua sektor kehidupan manusia, dari mulai sektor bisnis, urusan publik dan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, sosial-politik, hingga dalam kehidupan domestik (keluarga). Meskipun demikian, digitalisasi yang terjadi di dunia bisnis telah menjadi enabler dan driver yang mempengaruhi perkembangan digitalisasi di sektor-sektor lainnya. Hal ini wajar, mengingat digitalisasi “setali tiga uang” dengan komersialisme. Digitalisasi berperan memberikan nilai tambah (added value) bagi organisasi-organisasi bisnis untuk menghasilkan kinerja yang lebih efektif, efisien, cepat dan lincah (agile).
Dalam pemahaman praktis, digitalisasi merupakan penggunaan teknologi digital dan data untuk menciptakan pendapatan, meningkatkan bisnis, mengganti/mengubah proses bisnis (tidak hanya mendigitalkannya) dan menciptakan ekosistem untuk bisnis digital (Schallmo & Williams, 2018).
Sementara itu, McKinsey (2015) menyebutkan bahwa istilah “digital” sesungguhnya dapat dipecah menjadi tiga fungsi utama bagi dunia bisnis, yakni:
- Menciptakan nilai tambah bagi dunia bisnis
- Mengoptimalkan proses bisnis yang secara langsung berpengaruh terhadap pengalaman pelanggan
- Membangun kemampuan dasar yang mendukung inisiasi bisnis.
Selanjutnya McKinsey (2015) menjelaskan bahwa digitalisasi berhubungan dengan proses teknologi dan organisasi yang memungkinkan perusahaan menjadi lebih gesit dan cepat. Pondasi tersebut terdiri dari dua elemen:
- Pola Pikir.
Digitalisasi sesungguhnya adalah tentang bagaimana organisasi menggunakan data untuk membuat keputusan yang lebih baik dan lebih cepat, menyerahkan pengambilan keputusan kepada tim yang lebih kecil, dan mengembangkan cara yang lebih cepat dalam melakukan pekerjaan. Untuk bisa bekerja dengan lebih cepat, dibutukan sebuah “pola pikir digital” yang mendukung kolaborasi lintas fungsi, meratakan hierarki, dan membangun ekosistem untuk mendorong tumbuhkembangnya ide-ide baru.
- Arsitektur Sistem dan Data.
Digitalisasi adalah penerapan teknologi informasi yang difokuskan untuk mendukung fungsi sistem dan data dalam konteks pelayanan organisasi kepada pelanggan, dimana ia berguna untuk membangun jaringan yang menghubungkan perangkat, objek, dan orang.
Revolusi Industri 4.0
Sebelum kita membahas transformasi digital, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang background yang mendasari kemunculan digitalisasi. Sejatinya, digitalisasi merupakan pencapaian yang dihasilkan dari proses industrialisasi yang berkembang tahap demi tahap, dari mulai revolusi industri pertama, kedua, ketiga hingga keempat. Pada revolusi industri keempat inilah, teknologi digital berkembang dengan pesat.
Menurut Deguchi et al (2020), revolusi industri pertama dimulai di Inggris pada abad ke-18 yang didorong oleh mekanisasi peralatan manufaktur. Mesin bertenaga air dan uap memungkinkan lompatan produktivitas di industri tekstil dan industri lainnya.
Revolusi industri kedua dimulai sekitar pergantian abad ke-20, dimana ini melibatkan produksi massal berdasarkan pembagian kerja. Produsen beralih ke tenaga listrik yang dihasilkan bahan bakar fosil, dan pabrik menjadi jauh lebih besar. Revolusi industri kedua ini dicontohkan oleh produksi mobil Ford Motor Company.
Revolusi industri ketiga, yang dimulai pada 1970-an, melibatkan teknologi elektronik. Di tahap ini, produsen menggunakan teknologi robot untuk mengotomatisasi beberapa proses manufaktur, dan akibatnya mencapai lompatan yang signifikan dalam produktivitas. Selama waktu inilah manufaktur Jepang menjadi terkenal di seluruh dunia.
Adapun revolusi industri keempat (4.0) ditandai dengan aktivitas menciptakan siklus data-informasi-pengetahuan, di mana segala macam data dikumpulkan dan dibagikan di antara berbagai bidang dan organisasi. Industri 4.0 menggunakan data dengan cara yang melampaui kerangka kerja manufaktur tradisional.
Di tahap ini, produsen mengumpulkan data setelah produk dijual. Praktik ini memungkinkan produsen untuk mengidentifikasi kebutuhan laten dari Big Data klien dan memperkuat jaringan nilai mereka, sehingga menciptakan peluang bisnis baru. Selain itu dalam era Industri 4.0 ini, nilai tambah diciptakan melalui kustomisasi massal dengan bantuan artificial intelligence (AI).
Di tahap ini pula, kemudian muncullah apa yang kita kenal dengan revolusi digital. Revolusi digital ini didorong oleh empat jenis teknologi yang telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan dampaknya terhadap ekonomi (McKinsey, 2016):
- Internet Seluler: Perangkat seluler telah mengambil alih perangkat saluran tetap sebagai gerbang utama yang digunakan orang untuk mengakses Internet. Di seluruh dunia, 60 persen dari semua lalu lintas online sekarang berasal dari perangkat seluler.
- Teknologi cloud: Koneksi yang lebih murah dan lebih cepat melalui Internet telah memungkinkan lebih banyak daya komputasi untuk diakses dari jarak jauh. Pada tahun 2014, untuk pertama kalinya lebih banyak beban kerja informasi diproses melalui cloud daripada di ruang TI tradisional.
- Internet of Things (IoT): Pada tahun 2015, ada 18,2 miliar perangkat yang terhubung ke Internet. Pada tahun 2020, jumlah ini diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat, menjadi 50 miliar. Sensor dan aktuator yang lebih murah serta koneksi internet yang lebih cepat dan andal mendorong lebih banyak perangkat yang terhubung dan dikendalikan dari jarak jauh dan meluncurkan model bisnis dan operasi baru, termasuk produk inovatif seperti mobil tanpa pengemudi dan rumah pintar.
- Big data dan advanced analytics: Pada tahun 2016, lalu lintas internet mencapai 1 zetabyte atau setara dengan 1 triliun gigabyte. Objek sehari-hari mentransmisikan informasi setiap detik dari operasinya, dan komputer dengan daya analitik canggih meningkatkan pengambilan keputusan manusia dan melepaskan kekuatan data besar untuk mengoptimalkan rantai pasokan dan proses bisnis di berbagai sektor mulai dari perawatan kesehatan dan ritel hingga energi dan pertambangan.
Gambar di bawah ini adalah revolusi digital yang terjadi di Indonesia:
Transformasi Digital
Dalam pemahaman sederhana, transformasi digital adalah proses menjadi perusahaan digital, yakni organisasi yang menggunakan teknologi dalam mengembangkan model bisnisnya. Transformasi digital juga dapat dimaknai sebagai integrasi teknologi digital ke dalam semua bidang bisnis, yang secara fundamental mengubah cara organisasi beroperasi dan memberikan nilai kepada pelanggan.
Setidaknya ada 3 unsur yang terlibat dalam proses transformasi digital, yakni:
- Bisnis
Dalam hal ini transformasi digital menuntut perusahaan untuk meninjau kembali model bisnis mereka, berfokus pada pengalaman pelanggan, memikirkan kembali merek, dan mengungkap peluang baru melalui inovasi yang cepat.
- Organisasi
Dalam hal ini transformasi digital menuntut perusahaan untuk menyesuaikan budaya organisasi, memperkenalkan cara kerja baru, dan membangun kemampuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan era digital.
- Teknologi
Dalam hal ini transformasi digital menuntut penerapan teknologi baru serta keterampilan yang melibatkan ekstraksi dan pertukaran data serta analisis dan konversi data menjadi informasi. Informasi tersebut digunakan sebagai input dalam proses pengambilan keputusan dan/atau memulai kegiatan yang meningkatkan kinerja dan jangkauan perusahaan.
Menurut Skog (2019), digitalisasi yang luas akan mengubah lingkungan bisnis dan teknologi, menghadirkan peluang dan tantangan bagi setiap organisasi untuk berubah. Ketika lingkungan bisnis menjadi jauh lebih dinamis dan menghasilkan kondisi yang terus berubah, organisasi harus dapat memanfaatkan peluang dan melindungi diri dari ancaman kompetitor. Di sinilah transformasi digital berperan bagi organisasi bisnis.
Menurut Osmundsen et al (2018), ada 4 faktor pendorong terjadinya transformasi digitial. Faktor-faktor tersebut adalah:
- Perubahan regulasi
- Perubahan lanskap persaingan
- Pergeseran/perubahan industri secara luas ke bentuk digital
- Perubahan perilaku dan harapan konsumen.
Tren transformasi digital yang terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia saat ini tampaknya sudah tidak dapat dihentikan dan secara drastis mengubah perilaku masyarakat termasuk kehidupan pribadi, administrasi publik, struktur industri dan lapangan kerja. Tren ini tentunya dapat berdampak positif terhadap akselerasi kemajuan ekonomi Indonesia, namun yang paling penting adalah bahwa digitalisasi tersebut dapat membantu masyarakat dan bangsa ini bertahan (survive) dalam situasi kritis akibat pandemi covid-19.
Menurut World Economic Forum (2018), perkembangan teknologi digital dapat berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat sebuah bangsa dengan melahirkan masyarakat digital (digital society). Dalam hal ini, teknologi dapat membawa manfaat dengan mendorong standar hidup yang lebih tinggi dan menyediakan kenyamanan hidup yang lebih baik bagi masyarakat. Akan tetapi, teknologi digital juga memiliki efek negatif, terutama dampaknya terhadap pekerjaan, kesenjangan yang semakin besar, dan distribusi kekayaan dan informasi yang salah.
Setiawan (2017) menyebutkan dampak positif dan negatif dari perkembangan teknologi digital. Adapun dampak positif dari era digital antara lain:
- Informasi yang dibutuhkan dapat lebih cepat dan lebih mudah dalam mengaksesnya.
- Tumbuhnya inovasi dalam berbagai bidang yang berorentasi pada teknologi digital yang memudahkan proses dalam pekerjaan kita.
- Munculnya media massa berbasis digital, khususnya media elektronik sebagai sumber pengetahuan dan informasi masyarakat.
- Meningkatnya kualitas sumber daya manusia melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
- Munculnya berbagai sumber belajar seperti perpustakaan online, media pembelajaran online, diskusi online yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
- Munculnya e-bisnis seperti toko online yang menyediakan berbagai barang kebutuhan dan memudahkan mendapatkannya.
Adapun dampak negatif dari digitalisasi yanga harus diantisapasi antara lain:
- Ancaman pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) karena akses data yang mudah dan menyebabkan orang plagiatis akan melakukan kecurangan.
- Ancaman terjadinya pikiran pintas dimana anak-anak seperti terlatih untuk berpikir pendek dan kurang konsentrasi.
- Ancaman penyalahgunaan pengetahuan untuk melakukan tindak pidana seperti menerobos sistem perbankan, dan lain-lain (menurunnya moralitas).
- Tidak mengefektifkan teknologi informasi sebagai media atau sarana belajar, misalnya seperti selain men-download e-book, tetapi juga mencetaknya, tidak hanya mengunjungi perpustakaan digital, tetapi juga masih mengunjungi gedung perpustakaan, dan lain-lain.
Meskipun demikian, dampak positif atau negatif tersebut ditentukan oleh diri kita masing-masing, bagaimana kita memperlakukan teknologi tersebut. Oleh karena itu, sebagai penyeimbang dari kemajuan teknologi digital yang terjadi dalam beberapa dekade terahir, Jepang mengeluarkan gagasan yang disebut dengan Society 5.0.
Apa Itu Society 5.0?
Dalam laporan terbarunya yang dikeluarkan pada November 2018, Keidanren (Federasi Bisnis Jepang) mendefinisikan ulang konsep Society 5.0 sebagai “Masyarakat Imajinasi”. Dalam hal ini, setiap orang diharapkan dapat melatih imajinasi mereka untuk mengidentifikasi berbagai kebutuhan dan tantangan yang ada serta skenario untuk menyelesaikannya secara kreatif melalui pemanfaatan teknologi dan data digital.
Jadi, konsep Society 5.0 ini adalah “jalan tengah” atau penggabungan antara transformasi digital dengan imajinasi dan kreativitas manusia untuk menghasilkan “pemecahan masalah” dan “penciptaan nilai” yang membawa dunia ini kearah pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Dalam Society 5.0, setiap anggota masyarakat dibebaskan dari berbagai kendala yang tidak dapat diatasi dan tetap akan memperoleh kebebasan untuk mengejar gaya hidup dan nilai yang beragam. Konsep ini menekankan pada pemenuhan kebutuhan individu, pemecahan masalah dan penciptaan nilai. Setiap anggota masyarakat akan hidup, belajar dan bekerja, bebas dari penindasan terhadap individualitas, seperti diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, ras, kebangsaan, dan lain-lain.
Konsep society 5.0 juga menekankan kebebasan setiap orang dari disparitas yang disebabkan oleh konsentrasi kekayaan dan informasi. Siapapun akan bisa mendapatkan kesempatan untuk berperan dalam kehidupan sosial dan ekonomi kapan saja dan di mana saja. Masyarakat juga dibebaskan dari sumber daya dan kendala lingkungan, dan dapat menjalani kehidupan yang berkelanjutan di wilayah mana pun.
Pentingnya Literasi Digital
Perkembangan digitalisasi dalam dunia bisnis maupun dalam ruang lingkup yang lebih luas/umum, haruslah dibarengi dengan kemampuan literasi digital. Literasi digital ini merupakan isu yang sangat penting terutama di Indonesia, dimana kesenjangan digital masih terjadi mengingat pembangunan dan industrialisasi di tanah air masih belum merata.
Di masyarakat sendiri (bahkan di masyarakat yang tinggal di pulau Jawa), masih sering kita temukan adanya kesenjangan digital. Lee & Hidayat (2019) menjelaskan bahwa konsep kesenjangan digital dimaknai secara luas oleh para peneliti sebagai “ketidaksetaraan dalam keterampilan atau kompetensi dalam penggunaan teknologi”.
Dalam hal ini, tingkat keterampilan yang berbeda menghasilkan variasi dalam cara menggunakan teknologi seperti internet. Untuk mengoptimalkan kegunaannya dan menyasar kebutuhan tertentu, internet harus digunakan secara efektif, bukan hanya tersedia dan dapat diakses secara luas. Jika pengguna tidak dapat menggunakan teknologi secara efektif, maka mereka hanya memiliki akses namun tidak berarti kesenjangan digital telah teratasi.
Menurut Norris (2001, dalam Lee & Hidayat, 2019), negara-negara berkembang mampu meningkatkan pembangunan ekonomi mereka dan meminimalkan kemiskinan dengan bantuan teknologi. Menyediakan akses internet kepada masyarakat yang kurang mampu dan meningkatkan kualitas penggunaan teknologi mereka adalah beberapa cara untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.
Untuk membangun budaya digital yang seimbang dalam masyarakat, penting untuk memastikan bahwa setiap anggota masyarakat dapat memanfaatkan TIK secara produktif dalam kehidupan sehari-hari mereka dan menghasilkan peluang digital untuk dapat terlibat dengan baik dalam konsumsi dan produksi sumber daya sosial.
Sebagai contoh dalam dunia pendidikan, teknologi digital tidak hanya memfasilitasi pembelajaran online tetapi juga dapat memainkan peran penting dalam berbagi sumber daya, misalnya dengan menghubungkan mereka yang membutuhkan sumber daya (demand) dengan mereka yang memiliki sumber daya (supply).
Digitalisasi di Indonesia telah memainkan peran utama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia kini menjadi negara berkembang dalam hal konsumsi media digital. Berikut ini adalah statistik digital Indonesia (We Are Social, 2021):
- Penduduk Indonesia
- Indonesia memiliki populasi 274,9 juta pada Januari 2021.
- Populasi Indonesia meningkat sebesar 2,9 juta (+1,1%) antara Januari 2020 dan Januari 2021.
- 49,7% penduduk Indonesia adalah perempuan, sedangkan 50,3% penduduknya adalah laki-laki
- 57,0% penduduk Indonesia tinggal di pusat kota, sementara 43,0% tinggal di pedesaan.
- Pengguna internet di Indonesia
- Terdapat 202,6 juta pengguna internet di Indonesia pada Januari 2021.
- Jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat 27 juta (+16%) antara tahun 2020 dan 2021.
- Penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7% pada Januari 2021.
- Statistik media sosial untuk Indonesia
- Terdapat 170,0 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2021.
- Jumlah pengguna media sosial di Indonesia meningkat 10 juta (+6,3%) antara tahun 2020 dan 2021.
- Jumlah pengguna media sosial di Indonesia setara dengan 61,8% dari total populasi pada Januari 2021.
Bahkan menurut riset Google, pada 2025 nilai ekonomi digital di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 130 miliar. Jumlah valuasi ini akan menjadikan Indonesia sebagai pasar ekonomi digital terbesar di kawasan Asean.
Gambar: penggunaan internet harian masyarakat Indonesia
Menurut Deloitte (2021), Indonesia memiliki jumlah pengguna Internet terbesar keempat di dunia dan sebagian besarnya adalah Generasi Y (milenial) dan Generasi Z. Kedua generasi ini adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital di tanah air.
Persamaan dan perbedaan karakter antara generasi X, Y dan Z dideskripsikan dalam tabel di bawah ini:
Generasi X | Generasi Y (Milenial) | Generasi Z | |
Tahun kelahiran | 1961-1980 | 1981-1995 | 1996-2010 |
Karakteristik | Mandiri, lahir dan dibesarkan oleh orang tua babyboomers yang workaholic, efisien, care er-minded, berpe-gang teguh pada prinsip. | Optimistik, idealis, individualis, tumbuh besar saat era digital mulai berkembang, mencari pekerjaan yang sesuai passion, mudah bosan. | Lahir saat teknologi sedang berkembang pesat, menginginkan segala sesuatu yang serba instan, kurang ambisi untuk bisa sukses, sangat cepat beradaptasi dengan teknologi |
Lingkungan kerja yang disukai | Jenjang karier yang jelas, suasana kantor yang efisien dan fleksibel, informasi yang jelas mengenai manajemen perusahaan | Fleksibel, suasana kantor yang kekeluargaan, selalu ada tantangan baru, bekerja sama baik dengan rekanrekan sekantor | Saat ini generasi Z umumnya belum bekerja karena masih berusia remaja |
Kehidupan sosial media | Sosmed yang digunakan umumnya Facebook dan Twitter. Sosmed digunakan untuk berhubungan dengan kawan lama, sharing sesuatu karena memang berguna atau ingin memberikan informasi bagi yang lain. | Sosmed yang digunakan umumnya Facebook, Twitter, dan Instagram. Sharing karena kebutuhan sosial, menggunakan sosmed untuk menunjukkan eksistensi diri. | Sosmed yang digunakan umumnya Instagram. Generasi ini punya kredibilitas tersendiri untuk membangun citra diri melalui apa yang dibagikan di sosmed mereka |
Pola pikir | Masih menghormati birokrasi dan mau mengikuti aturan | Cenderung idealis, jika ada aturan yang tidak sesuai maka tak ragu ditinggalkan. | Cenderung serba instan, malas “ribet” dengan aturan. |
Sumber: www.quipper.com (dalam Wijoyo dkk, 2020).
Pertumbuhan E-Commerce
Mengingat besarnya pasar Indonesia dan konsumen yang cerdas secara digital, pasar e-commerce Indonesia telah muncul sebagai yang terbesar di Asia Tenggara, yakni menyumbang hampir 50 persen dari total ukuran pasar di kawasan tersebut.
Perkembangan bisnis e-commerce ini dari hari ke hari semakin pesat selama pandemi covid-19. Di tahun 2020, Indonesia muncul sebagai salah satu pengadopsi e-commerce dan mobile e-commerce tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Gambar: Mobile e-commerce adoption across selected Southeast Asian countries in July and October 2020
Menurut riset yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC), generasi Z dan milenial banyak yang menghabiskan gajinya berbelanja di e-commerce. Mereka yang berusia 18-25 tahun (generasi Z) rata-rata memperoleh pendapatan sebesar Rp 4,6 juta per bulan, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai transaksi belanja mereka di e-commerce sebesar 5,4% dari pendapatan bulanan tersebut. Sementara kelompok usia 26-35 tahun (generasi milenial) rata-rata memiliki pendapatan yang lebih besar, yakni Rp 5,7 juta per bulan, dimana rata-rata pendapatan yang dibelanjakan di e-commerce sebesar 5,2%.
Bank Indonesia melihat peningkatan signifikan dalam jumlah transaksi e-commerce di Indonesia di masa pandemi covid-19. Berdasarkan data bulan Maret 2020, seiring dengan dimulainya aturan physical distancing yang diterapkan oleh pemerintah, transaksi e-commerce meningkat 18,1% menjadi 98,3 juta transaksi, dan total nilai transaksi meningkat 9,9% menjadi US$ 1,4 miliar.
Dalam keadaan normal, pertumbuhan besar-besaran ini bisa memakan waktu 1,5 hingga 2 tahun. Dengan keadaan pandemi yang membatasi orang keluar untuk menghindari ancaman infeksi, masyarakat lebih sering mengakses e-commerce sebagai alternatif yang lebih aman untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pengabdian Masyarakat
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional Pasal 20. Penelitian di perguruan tinggi diarahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa seperti dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 45 dan 46.
Perguruan Tinggi berkewajiban menyelengarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat disamping melaksanakan penididikan sebagaimana diamanahkan dalam undang-undang:
- UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
- UU No 12 Tahun 2012 Tentang SNPT: “Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Perguruan tinggi diarahkan untuk mengembangkan IPTEK serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat
- Permen Ristek Dikti No 44 Tahun 2015 Tentang SNPT: “Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang meliputi Standar Pendidikan Nasional, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat”
- Permen Ristek Dikti No 13 Tahun 2015 Tentang RENSTRA : “Perguruan tinggi dituntun untuk dapat menghasilkan inovasi yang dapat menghasilkan inovasi yang dapat memberikan manfaat ekonomis bagi masyarakat secara luas”
Pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan sivitas akademika dalam mengamalkan dan membudayakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Ristekdikti, 2016).
Skema pengabdian masyarakat adalah sebagai berikut:
Contoh kegiatan pengabdian masyarakat dengan memberikan pelatihan digital marketing:
REFERENSI:
Lee, J. Y. & Hidayat, D. N. (2019). Digital technology for Indonesia’s young people; The significance of SNS use and digital literacy for learning. Medien Pädagogik 35, (October), 20–35
Osmundsen, K., Iden, J. & Bygstad, B. (2018). Digital Transformation: Drivers, Success Factors, and Implications. Mediterr. Conf. Inf. Syst. Proc., vol. 12, pp. 1–15.
Schallmo, D. R. A. & Williams, C. A. (2018). Digital Transformation Now! Guiding the Successful Digitalization of Your Business Model. Switzerland: Springer
Setiawan, W. (2017). Era Digital dan Tantangannya. Seminar Nasional Pendidikan 2017
Skog, D. A. (2019). The Dynamics of Digital Transformation; The Role of Digital Innovation, Ecosystems and Logics in Fundamental Organizational Change. Swedia: Umeå University
Tapscott, Don. 1996. The Digital Economy Era: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence. New York: McGraw Hill.
Wijoyo dkk. (2020). GENERASI Z & REVOLUSI INDUSTRI 4.0. Banyumas. Penerbit CV Pena Persada
World Economic Forum. (2018). Our Shared Digital Future; Building an Inclusive, Trustworthy and Sustainable Digital Society. Insight Report. Switzerland: World Economic Forum
Sumber Lain:
PANDUAN PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT EDISI XIII TAHUN 2020
Berita ini telah terbit di
https://berita.upi.edu/transformasi-digital-menuju-era-digital-society-sebagai-akselerasi-kebangkitan-ekonomi-nasional/